Dengan
perpanjangannya yang menghujam jauh ke dalam maupun ke atas permukaan
bumi, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi yang
berbeda, layaknya pasak. Kerak bumi terdiri atas lempengan-lempengan
yang senantiasa dalam keadaan bergerak. Fungsi pasak dari gunung ini
mencegah guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang memiliki
struktur sangat mudah bergerak.
|
Al Qur’an mengarahkan perhatian kita pada fungsi geologis penting dari gunung.
"Dan
telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu
(tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)
Sebagaimana terlihat, dinyatakan dalam ayat tersebut bahwa gunung-gunung berfungsi mencegah goncangan di permukaan bumi.
Kenyataan ini
tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan.
Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan geologi
modern.
Menurut penemuan
ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari
lempengan-lempengan raksasa yang membentuk kerak bumi. Ketika dua
lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah
lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk
dataran tinggi dan gunung. Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan
membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung
mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya
dengan yang tampak di permukaan bumi.
Dalam tulisan ilmiah, struktur gunung digambarkan sebagai berikut:
Pada bagian benua
yang lebih tebal, seperti pada jajaran pegunungan, kerak bumi akan
terbenam lebih dalam ke dalam lapisan magma. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305)
Dalam sebuah ayat, peran gunung seperti ini diungkapkan melalui sebuah perumpamaan sebagai "pasak":
"Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?, dan gunung-gunung sebagai pasak?" (Al Qur'an, 78:6-7)
Dengan kata
lain, gunung-gunung menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi dengan
memanjang ke atas dan ke bawah permukaan bumi pada titik-titik pertemuan
lempengan-lempengan ini. Dengan cara ini, mereka memancangkan kerak
bumi dan mencegahnya dari terombang-ambing di atas lapisan magma atau di
antara lempengan-lempengannya. Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung
dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu.
Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tulisan ilmiah dengan istilah "isostasi". Isostasi bermakna sebagai berikut:
Isostasi: kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi bebatuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster's New Twentieth Century Dictionary, 2. edition "Isostasy", New York, s. 975)
Peran
penting gunung yang ditemukan oleh ilmu geologi modern dan penelitian
gempa, telah dinyatakan dalam Al Qur’an berabad-abad lampau sebagai
suatu bukti Hikmah Maha Agung dalam ciptaan Allah.
"Dan
telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu
(tidak) goncang bersama mereka..." (Al Qur'an, 21:31)
Gambar
di atas memperlihatkan tahap-tahap pembentukan gelombang air. Gelombang
air terbentuk ketika angin meniup permukaan air. Akibat pengaruh angin
ini, pertikel-partikel air mulai bergerak melingkar. Pergerakan ini
kemudian mendorong terbentuknya gelombang air yang silih berganti, dan
butiran-butiran air kemudian terbentuk oleh gelombang ini yang kemudian
tersebar dan beterbangan di udara.
|
Dalam sebuah ayat Al Qur’an disebutkan sifat angin yang mengawinkan dan terbentuknya hujan karenanya.
"Dan
Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan
dari langit lalu Kami beri minum kamu dengan air itu dan sekali kali
bukanlah kamu yang menyimpannya." (Al Qur'an, 15:22)
Dalam ayat
ini ditekankan bahwa fase pertama dalam pembentukan hujan adalah angin.
Hingga awal abad ke 20, satu-satunya hubungan antara angin dan hujan
yang diketahui hanyalah bahwa angin yang menggerakkan awan. Namun
penemuan ilmu meteorologi modern telah menunjukkan peran "mengawinkan"
dari angin dalam pembentukan hujan.
Fungsi mengawinkan dari angin ini terjadi sebagaimana berikut:
Di atas permukaan
laut dan samudera, gelembung udara yang tak terhitung jumlahnya
terbentuk akibat pembentukan buih. Pada saat gelembung-gelembung ini
pecah, ribuan partikel kecil dengan diameter seperseratus milimeter,
terlempar ke udara. Partikel-partikel ini, yang dikenal sebagai aerosol,
bercampur dengan debu daratan yang terbawa oleh angin dan selanjutnya
terbawa ke lapisan atas atmosfer. . Partikel-partikel ini dibawa naik
lebih tinggi ke atas oleh angin dan bertemu dengan uap air di sana. Uap
air mengembun di sekitar partikel-partikel ini dan berubah menjadi
butiran-butiran air. Butiran-butiran air ini mula-mula berkumpul dan
membentuk awan dan kemudian jatuh ke Bumi dalam bentuk hujan.
Sebagaimana
terlihat, angin “mengawinkan” uap air yang melayang di udara dengan
partikel-partikel yang di bawanya dari laut dan akhirnya membantu
pembentukan awan hujan.
Apabila angin tidak
memiliki sifat ini, butiran-butiran air di atmosfer bagian atas tidak
akan pernah terbentuk dan hujanpun tidak akan pernah terjadi.
Hal terpenting di
sini adalah bahwa peran utama dari angin dalam pembentukan hujan telah
dinyatakan berabad-abad yang lalu dalam sebuah ayat Al Qur’an, pada saat
orang hanya mengetahui sedikit saja tentang fenomena alam…
Lautan yang Tidak Bercampur Satu Sama Lain |
Terdapat
gelombang besar, arus kuat, dan gelombang pasang di Laut Tengah dan
Samudra Atlantik. Air Laut Tengah memasuki Samudra Atlantik melalui
selat Jibraltar. Namun suhu, kadar garam, dan kerapatan air laut di
kedua tempat ini tidak berubah karena adanya penghalang yang memisahkan
keduanya.
|
Salah satu di antara sekian sifat lautan yang baru-baru ini ditemukan adalah berkaitan dengan ayat Al Qur’an sebagai berikut:
"Dia
membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara
keduanya ada batas yang tak dapat dilampaui oleh masing-masing." (Al
Qur'an, 55:19-20)
Sifat lautan
yang saling bertemu, akan tetapi tidak bercampur satu sama lain ini
telah ditemukan oleh para ahli kelautan baru-baru ini. Dikarenakan gaya
fisika yang dinamakan "tegangan permukaan", air dari laut-laut yang
saling bersebelahan tidak menyatu. Akibat adanya perbedaan masa jenis,
tegangan permukaan mencegah lautan dari bercampur satu sama lain, seolah
terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis, Richard A., Jr. 1972, Principles of Oceanography, Don Mills, Ontario, Addison-Wesley Publishing, s. 92-93.)
Sisi menarik
dari hal ini adalah bahwa pada masa ketika manusia tidak memiliki
pengetahuan apapun mengenai fisika, tegangan permukaan, ataupun ilmu
kelautan, hal ini dinyatakan dalam Al Qur’an.
Kegelapan dan Gelombang di Dasar Lautan |
Pengukuran yang dilakukan dengan teknologi masa kini berhasil
mengungkapkan bahwa antara 3 hingga 30% sinar matahari dipantulkan oleh
permukaan laut. Jadi, hampir semua tujuh warna yang menyusun spektrum
sinar matahari diserap satu demi satu ketika menembus permukaan lautan
hingga kedalaman 200 meter, kecuali sinar biru (lihat gambar di
samping). Di bawah kedalaman 1000 meter, tidak dijumpai sinar apa pun.
(lihat gambar atas). Fakta ilmiah ini telah disebutkan dalam ayat ke-40
surat An Nuur sekitar 1400 tahun yang lalu..
|
"Atau
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat
melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh
Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (Al Qur'an, 24:40)
Keadaan umum tentang lautan yang dalam dijelaskan dalam buku berjudul Oceans:
Kegelapan dalam
lautan dan samudra yang dalam dijumpai pada kedalaman 200 meter atau
lebih. Pada kedalaman ini, hampir tidak dijumpai cahaya. Di bawah
kedalaman 1000 meter, tidak terdapat cahaya sama sekali. (Elder, Danny; and John Pernetta, 1991, Oceans, London, Mitchell Beazley Publishers, s. 27)
Kini, kita
telah mengetahui tentang keadaan umum lautan tersebut, ciri-ciri makhluk
hidup yang ada di dalamnya, kadar garamnya, serta jumlah air, luas
permukaan dan kedalamannya. Kapal selam dan perangkat khusus yang
dikembangkan menggunakan teknologi modern, memungkinkan para ilmuwan
untuk mendapatkan informasi ini.
Manusia tak mampu
menyelam pada kedalaman di bawah 40 meter tanpa bantuan peralatan
khusus. Mereka tak mampu bertahan hidup di bagian samudra yang dalam nan
gelap, seperti pada kedalaman 200 meter. Karena alasan inilah, para
ilmuwan hanya baru-baru ini saja mampu menemukan informasi sangat rinci
tersebut tentang kelautan. Namun, pernyataan "gelap gulita di lautan
yang dalam" digunakan dalam surat An Nuur 1400 tahun lalu. Ini sudah
pasti salah satu keajaiban Al Qur’an, sebab infomasi ini dinyatakan di
saat belum ada perangkat yang memungkinkan manusia untuk menyelam di
kedalaman samudra.
Selain itu, pernyataan di ayat ke-40 surat An Nuur "Atau
seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan…" mengarahkan perhatian kita pada satu keajaiban Al Qur’an yang lain.
Para ilmuwan
baru-baru ini menemukan keberadaan gelombang di dasar lautan, yang
"terjadi pada pertemuan antara lapisan-lapisan air laut yang memiliki
kerapatan atau massa jenis yang berbeda." Gelombang yang dinamakan
gelombang internal ini meliputi wilayah perairan di kedalaman lautan dan
samudra dikarenakan pada kedalaman ini air laut memiliki massa jenis
lebih tinggi dibanding lapisan air di atasnya. Gelombang internal
memiliki sifat seperti gelombang permukaan. Gelombang ini dapat pecah,
persis sebagaimana gelombang permukaan. Gelombang internal tidak dapat
dilihat oleh mata manusia, tapi keberadaannya dapat dikenali dengan
mempelajari suhu atau perubahan kadar garam di tempat-tempat tertentu. (Gross, M. Grant; 1993, Oceanography, a View of Earth, 6. edition, Englewood Cliffs, Prentice-Hall Inc., s. 205)
Pernyataan-pernyataan
dalam Al Qur'an benar-benar bersesuaian dengan penjelasan di atas.
Tanpa adanya penelitian, seseorang hanya mampu melihat gelombang di
permukaan laut. Mustahil seseorang mampu mengamati keberadaan gelombang
internal di dasar laut. Akan tetapi, dalam surat An Nuur, Allah
mengarahkan perhatian kita pada jenis gelombang yang terdapat di
kedalaman samudra. Sungguh, fakta yang baru saja diketemukan para
ilmuwan ini memperlihatkan sekali lagi bahwa Al Qur'an adalah kalam
Allah.
Fakta
lain yang diberikan dalam Al Qur’an mengenai hujan adalah bahwa hujan
diturunkan ke bumi dalam kadar tertentu. Hal ini disebutkan dalam Surat
Az Zukhruf sebagai berikut;
"Dan
Yang menurunkan air dari langit menurut kadar (yang diperlukan) lalu
Kami hidupkan dengan air itu negeri yang mati, seperti itulah kamu akan
dikeluarkan (dari dalam kubur)." (Al Qur'an, 43:11)
Kadar dalam
hujan ini pun sekali lagi telah ditemukan melalui penelitian modern.
Diperkirakan dalam satu detik, sekitar 16 juta ton air menguap dari
bumi. Angka ini menghasilkan 513 trilyun ton air per tahun. Angka ini
ternyata sama dengan jumlah hujan yang jatuh ke bumi dalam satu tahun.
Hal ini berarti air senantiasa berputar dalam suatu siklus yang seimbang
menurut "ukuran atau kadar" tertentu. Kehidupan di bumi bergantung pada
siklus air ini. Bahkan sekalipun manusia menggunakan semua teknologi
yang ada di dunia ini, mereka tidak akan mampu membuat siklus seperti
ini.
Per tahunnya, air hujan yang menguap dan turun kembali ke Bumi dalam
bentuk hujan berjumlah "tetap": yakni 513 triliun ton. Jumlah yang tetap
ini dinyatakan dalam Al Qur'an dengan menggunakan istilah "menurunkan
air dari langit menurut kadar". Tetapnya jumlah ini sangatlah penting
bagi keberlangsungan keseimbangan ekologi dan, tentu saja, kelangsungan
kehidupan ini,..
|
Bahkan satu
penyimpangan kecil saja dari jumlah ini akan segera mengakibatkan
ketidakseimbangan ekologi yang mampu mengakhiri kehidupan di bumi.
Namun, hal ini tidak pernah terjadi dan hujan senantiasa turun setiap
tahun dalam jumlah yang benar-benar sama seperti dinyatakan dalam Al
Qur’an.
Proses
terbentuknya hujan masih merupakan misteri besar bagi orang-orang dalam
waktu yang lama. Baru setelah radar cuaca ditemukan, bisa didapatkan
tahap-tahap pembentukan hujan..
Pembentukan hujan
berlangsung dalam tiga tahap. Pertama, "bahan baku" hujan naik ke udara,
lalu awan terbentuk. Akhirnya, curahan hujan terlihat.
Tahap-tahap ini
ditetapkan dengan jelas dalam Al-Qur’an berabad-abad yang lalu, yang
memberikan informasi yang tepat mengenai pembentukan hujan,
"Dialah
Allah Yang mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan
Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat air hujan keluar dari
celah-celahnya; maka, apabila hujan itu turun mengenai hamba-hambaNya
yang dikehendakiNya, tiba-tiba mereka menjadi gembira" (Al Qur'an,
30:48)
Gambar
di atas memperlihatkan butiran-butiran air yang lepas ke udara. Ini
adalah tahap pertama dalam proses pembentukan hujan. Setelah itu,
butiran-butiran air dalam awan yang baru saja terbentuk akan melayang di
udara untuk kemudian menebal, menjadi jenuh, dan turun sebagai hujan.
Seluruh tahapan ini disebutkan dalam Al Qur'an.
|
Kini, mari kita amati tiga tahap yang disebutkan dalam ayat ini.
TAHAP KE-1: "Dialah Allah Yang mengirimkan angin..."
Gelembung-gelembung
udara yang jumlahnya tak terhitung yang dibentuk dengan pembuihan di
lautan, pecah terus-menerus dan menyebabkan partikel-partikel air
tersembur menuju langit. Partikel-partikel ini, yang kaya akan garam,
lalu diangkut oleh angin dan bergerak ke atas di atmosfir.
Partikel-partikel ini, yang disebut aerosol, membentuk awan dengan
mengumpulkan uap air di sekelilingnya, yang naik lagi dari laut, sebagai
titik-titik kecil dengan mekanisme yang disebut "perangkap air".
TAHAP KE-2: “...lalu
angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit
menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal..."
Awan-awan
terbentuk dari uap air yang mengembun di sekeliling butir-butir garam
atau partikel-partikel debu di udara. Karena air hujan dalam hal ini
sangat kecil (dengan diamter antara 0,01 dan 0,02 mm), awan-awan itu
bergantungan di udara dan terbentang di langit. Jadi, langit ditutupi
dengan awan-awan.
TAHAP KE-3: "...lalu kamu lihat air hujan keluar dari celah-celahnya..."
Partikel-partikel
air yang mengelilingi butir-butir garam dan partikel -partikel debu itu
mengental dan membentuk air hujan. Jadi, air hujan ini, yang menjadi
lebih berat daripada udara, bertolak dari awan dan mulai jatuh ke tanah
sebagai hujan.
Semua tahap
pembentukan hujan telah diceritakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Selain
itu, tahap-tahap ini dijelaskan dengan urutan yang benar. Sebagaimana
fenomena-fenomena alam lain di bumi, lagi-lagi Al-Qur’anlah yang
menyediakan penjelasan yang paling benar mengenai fenomena ini dan juga
telah mengumumkan fakta-fakta ini kepada orang-orang pada ribuan tahun
sebelum ditemukan oleh ilmu pengetahuan.
Dalam sebuah ayat, informasi tentang proses pembentukan hujan dijelaskan:
"Tidaklah
kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara
(bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka
kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga)
menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-
gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya
(butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan
dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu
hampir-hampir menghilangkan penglihatan." (Al Qur'an, 24:43)
Para ilmuwan
yang mempelajari jenis-jenis awan mendapatkan temuan yang mengejutkan
berkenaan dengan proses pembentukan awan hujan. Terbentuknya awan hujan
yang mengambil bentuk tertentu, terjadi melalui sistem dan tahapan
tertentu pula. Tahap-tahap pembentukan kumulonimbus, sejenis awan hujan,
adalah sebagai berikut:
TAHAP - 1, Pergerakan awan oleh angin: Awan-awan dibawa, dengan kata lain, ditiup oleh angin.
TAHAP - 2, Pembentukan awan yang lebih besar: Kemudian awan-awan kecil (awan kumulus) yang digerakkan angin, saling bergabung dan membentuk awan yang lebih besar.
TAHAP - 3, Pembentukan awan yang bertumpang tindih: Ketika
awan-awan kecil saling bertemu dan bergabung membentuk awan yang lebih
besar, gerakan udara vertikal ke atas terjadi di dalamnya meningkat.
Gerakan udara vertikal ini lebih kuat di bagian tengah dibandingkan di
bagian tepinya. Gerakan udara ini menyebabkan gumpalan awan tumbuh
membesar secara vertikal, sehingga menyebabkan awan saling
bertindih-tindih. Membesarnya awan secara vertikal ini menyebabkan
gumpalan besar awan tersebut mencapai wilayah-wilayah atmosfir yang
bersuhu lebih dingin, di mana butiran-butiran air dan es mulai terbentuk
dan tumbuh semakin membesar. Ketika butiran air dan es ini telah
menjadi berat sehingga tak lagi mampu ditopang oleh hembusan angin
vertikal, mereka mulai lepas dari awan dan jatuh ke bawah sebagai hujan
air, hujan es, dsb. (Anthes,
Richard A.; John J. Cahir; Alistair B. Fraser; and Hans A. Panofsky,
1981, The Atmosphere, s. 269; Millers, Albert; and Jack C. Thompson,
1975, Elements of Meteorology, s. 141-142)
Kita harus
ingat bahwa para ahli meteorologi hanya baru-baru ini saja mengetahui
proses pembentukan awan hujan ini secara rinci, beserta bentuk dan
fungsinya, dengan menggunakan peralatan mutakhir seperti pesawat
terbang, satelit, komputer, dsb. Sungguh jelas bahwa Allah telah
memberitahu kita suatu informasi yang tak mungkin dapat diketahui 1400
tahun yang lalu.
Dalam
sebuah ayat, kita diberitahu bahwa gunung-gunung tidaklah diam
sebagaimana yang tampak, akan tetapi mereka terus-menerus bergerak.
"Dan
kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya,
padahal dia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah
yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (Al Qur'an, 27:88)
Gerakan
gunung-gunung ini disebabkan oleh gerakan kerak bumi tempat mereka
berada. Kerak bumi ini seperti mengapung di atas lapisan magma yang
lebih rapat. Pada awal abad ke-20, untuk pertama kalinya dalam sejarah,
seorang ilmuwan Jerman bernama Alfred Wegener mengemukakan bahwa
benua-benua pada permukaan bumi menyatu pada masa-masa awal bumi, namun
kemudian bergeser ke arah yang berbeda-beda sehingga terpisah ketika
mereka bergerak saling menjauhi.
Para ahli geologi
memahami kebenaran pernyataan Wegener baru pada tahun 1980, yakni 50
tahun setelah kematiannya. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Wegener
dalam sebuah tulisan yang terbit tahun 1915, sekitar 500 juta tahun lalu
seluruh tanah daratan yang ada di permukaan bumi awalnya adalah satu
kesatuan yang dinamakan Pangaea. Daratan ini terletak di kutub selatan.
Sekitar 180 juta
tahun lalu, Pangaea terbelah menjadi dua bagian yang masing-masingnya
bergerak ke arah yang berbeda. Salah satu daratan atau benua raksasa ini
adalah Gondwana, yang meliputi Afrika, Australia, Antartika dan India.
Benua raksasa kedua adalah Laurasia, yang terdiri dari Eropa, Amerika
Utara dan Asia, kecuali India. Selama 150 tahun setelah pemisahan ini,
Gondwana dan Laurasia terbagi menjadi daratan-daratan yang lebih kecil.
Benua-benua yang
terbentuk menyusul terbelahnya Pangaea telah bergerak pada permukaan
Bumi secara terus-menerus sejauh beberapa sentimeter per tahun.
Peristiwa ini juga menyebabkan perubahan perbandingan luas antara
wilayah daratan dan lautan di Bumi.
Pergerakan kerak
Bumi ini diketemukan setelah penelitian geologi yang dilakukan di awal
abad ke-20. Para ilmuwan menjelaskan peristiwa ini sebagaimana berikut:
Kerak dan bagian
terluar dari magma, dengan ketebalan sekitar 100 km, terbagi atas
lapisan-lapisan yang disebut lempengan. Terdapat enam lempengan utama,
dan beberapa lempengan kecil. Menurut teori yang disebut lempeng
tektonik, lempengan-lempengan ini bergerak pada permukaan bumi, membawa
benua dan dasar lautan bersamanya. Pergerakan benua telah diukur dan
berkecepatan 1 hingga 5 cm per tahun. Lempengan-lempengan tersebut
terus-menerus bergerak, dan menghasilkan perubahan pada geografi bumi
secara perlahan. Setiap tahun, misalnya, Samudera Atlantic menjadi
sedikit lebih lebar. (Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; General Science, Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 30)
Ada hal
sangat penting yang perlu dikemukakan di sini: dalam ayat tersebut Allah
telah menyebut tentang gerakan gunung sebagaimana mengapungnya
perjalanan awan. (Kini, Ilmuwan modern juga menggunakan istilah
"continental drift" atau "gerakan mengapung dari benua" untuk gerakan
ini. (National Geographic Society, Powers of Nature, Washington D.C., 1978, s.12-13)
Tidak
dipertanyakan lagi, adalah salah satu kejaiban Al Qur’an bahwa fakta
ilmiah ini, yang baru-baru saja ditemukan oleh para ilmuwan, telah
dinyatakan dalam Al Qur’an.
|
|
|
|
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar